**Pelita News | Cirebon.–** Sabtu malam, di Jalan Kantor depan Vihara Dewi Welas Asih, ratusan pasang mata menyaksikan momen tak terlupakan: layar tancap sederhana menjadi saksi lahirnya harapan baru dari lorong-lorong kampung. Bukan film komersil, bukan sineas besar ibu kota—melainkan anak-anak kampung, warga RW, dan mimpi-mimpi kecil yang dirajut jadi karya sinematik yang menggugah.
Adalah **Festival Milm Kampung 2025**, ajang tahunan yang kini masuk tahun keempat, menjadi panggung bagi suara-suara yang selama ini nyaris tak terdengar. Dan malam itu, satu sosok tampil tak sekadar sebagai tamu kehormatan, melainkan sebagai *pembela harapan rakyat kecil*: **Dr. H. Herman Khaeron**, Anggota DPR RI sekaligus Sekjen Partai Demokrat, yang akrab disapa **Kang Hero**.
“Mungkin orang tak pernah berpikir untuk membuat film dokumenter tentang kampungnya. Tapi para sineas kampung ini berhasil membalikkan kenyataan itu menjadi kekuatan,” ujar Kang Hero, matanya menatap tajam ke layar yang menayangkan realita.
Bagi Kang Hero, festival ini bukan sekadar ajang tontonan. Ia melihat ini sebagai lensa perjuangan masyarakat akar rumput untuk menyampaikan suara mereka — tentang keamanan anak, lingkungan sehat, dan masa depan kampung yang lebih manusiawi.
Tema tahun ini, **“Kampung Bocahe Kita”** dan **“Kampung Layak Anak”**, menyentuh isu mendalam: bagaimana kampung bisa menjadi tempat aman bagi anak-anak untuk tumbuh tanpa terjebak narkoba, kekerasan, atau racun digital.
Dan Kang Hero tak hanya bicara—ia menantang.
“Tahun depan, saya tantang digelar lebih besar lagi! Temanya: *Babad Tanah Leluhur.* Mari angkat kejayaan masa lalu Cirebon dan pluralisme yang jadi identitas kita,” tegasnya di tengah riuh tepuk tangan.
**Anak-Anak Jadi Aktor Perubahan**
Kehadiran **Agustini Rahayu**, Deputi Bidang Kreativitas Media Kemenparekraf, menambah pengakuan nasional atas festival ini. Ia menyoroti peran anak-anak dalam setiap aspek festival, dari penyutradaraan hingga panitia.
“Ini keren banget! Anak-anak jadi kreatif, belajar berorganisasi, dan bahkan ikut mendorong roda ekonomi kampung,” ujarnya kagum.
**Seni sebagai Nafas Perlawanan**
Di balik layar festival ini ada sosok legendaris: **Dedi Kampleng**, Ketua Majelis Seni dan Tradisi (Mesti) Kota Cirebon, sekaligus penggagas festival.
> “Kami tak menunggu uluran tangan pemerintah. Kami bergerak. Yang penting, visi kami sama: memperbaiki peradaban manusia dari kampung sendiri,” ujar Dedi dengan suara bergetar, namun penuh keyakinan.
Dengan 17 karya film dari 17 RW yang ditampilkan, ajang ini bukan sekadar lomba. Ia menjadi gerakan sosial, budaya, dan politik.
“Ini bukan tentang siapa menang. Ini tentang anak-anak yang akhirnya punya panggung, tentang warga yang bisa bercerita, dan tentang kampung yang punya suara,” pungkas Dedi.@Bams