Pelita News | Cirebon Timur – Ambulu merupakan salah satu desa di Kecamatan Losari yang terletak di ujung timur Kabupaten Cirebon mempunyai luas wilayah 1.210 hektar. Saat ini tengah menghadapi tekanan geografis yang kian nyata. Meski tidak sepopuler Prapag Lor atau Karangdempel (desa di perbatasan Brebes Jawa Tengah) dalam sorotan bencana rob, Ambulu menyimpan potensi kerentanan serius akibat pergeseran garis pantai dan ancaman banjir rob yang terus meningkat.
Memperhatikan Peta komparatif (Photo Utama: Citra Satelit) tahun 1994 dan 2024 yang disusun oleh tim University of Birmingham menegaskan skala perubahan tersebut. Garis pantai lama (1994), ditandai dengan warna merah muda, kini telah digantikan oleh garis pantai baru (2024) yang berwarna hijau, menunjukkan abrasi yang secara perlahan namun pasti telah memakan daratan. Ambulu mungkin belum tenggelam, perlahan tapi pasti wilayahnya jelas telah tergerus.
Kuwu Desa Ambulu, Sunaji menyebutkan, data ketinggian banjir dari peta tersebut memperlihatkan bahwa sebagian besar wilayah Ambulu berada di zona genangan 31–50 cm (kuning muda), dan sebagian kecil lainnya di kisaran 1–20 cm (hijau muda). Artinya, banjir rob dan limpasan air sungai bukanlah fenomena luar biasa di desa ini. Banjir terjadi secara rutin dan sangat mengganggu hingga menghambat aktivitas warga, terutama petani tambak.
“Jika dibandingkan dengan desa tetangga seperti Prapag Lor, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah yang banjirnya bisa mencapai lebih dari 50 cm, Ambulu terlihat tampak “relatif aman”. Namun label “relatif” ini menyesatkan jika dijadikan dalih untuk menunda mitigasi. Ketika abrasi terus terjadi dan sistem drainase belum diperkuat, satu musim pasang ekstrem saja bisa mengubah status “aman” menjadi “darurat”. Ini sudah terbukti pada siklus air pasang pada hari-hari yang terjadi sekarang,“ ungkapnya.
Lanjut disampaikan Sunaji, Peta juga menunjukkan keberadaan jaringan sungai aktif di wilayah Ambulu (garis biru), yang bila tidak dikendalikan dengan sistem drainase yang memadai, akan memperburuk genangan saat musim hujan atau ketika rob datang. Desa ini sedang diuji, apakah bisa bergerak dari status “relatif aman” menuju “tangguh”, atau justru menunggu hingga kerusakan terjadi lebih parah? Abrasi bukan sekadar isu geologi, tapi juga ekonomi, sosial, dan ekologi.
“Sudah saatnya pemerintah membaca peta Ambulu dengan lebih cermat, bukan hanya sebagai dokumen teknis, tetapi sebagai alarm dini. Penguatan infrastruktur air, konservasi pesisir, dan tata ruang adaptif harus dijadikan prioritas. Jika tidak, Ambulu bisa jadi hanya selangkah lagi dari kehilangan identitasnya sebagai desa pesisir yang produktif,“ paparnya.
Menolak Hilang dari Peta, Perlawanan Desa Ambulu di Tengah Rob yang Mengamuk
Sunaji mengungkapkan, lebih dari lima tahun terakhir, warga Desa Ambulu di Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon, hidup berdampingan dengan kenyataan pahit, air laut yang naik ke pekarangan rumah mereka bukan lagi kejadian langka, tapi agenda bulanan. Rob, banjir pesisir yang datang tanpa hujan, mengendap di jalanan, meresap ke sawah, dan pelan-pelan merusak apa yang dibangun warga bertahun-tahun.
“Kenaikan ketinggian permukaan air laut diperkirakan sudah mencapai 8–10 cm per tahun. Kenaikan ini mungkin terlihat kecil, tapi jika datang terus-menerus, dari tahun ke tahun, bahkan di titik yang sama, maka itu bukan sekedar banjir, melainkan peringatan dini tentang eksistensi satu desa yang terancam hilang dari daratan,“ ujarnya.
Ia pun mengakui jika penanganan banjir sudah pernah dimulai. Tahun 2021, Pemerintah Desa mengusulkan ke Kementerian PUPR melalui Dinas Pemukiman dan Perumahan kabupaten, turun tangan dengan program Penataan Kawasan. Sungai Bulu yang hulunya berada ditengah pemukiman direvitalisasi, got dibenahi. Kawasan padat yang sudah dipetakan oleh Pemdes Ambulu sebagai kawasan rawan banjir, blok Manis dan blok Pahing ditata ulang. Pendekatan teknis itu cukup membantu mengatasi banjir di kanan kiri sungai.
“Masalah baru muncul dalam tiga tahun terakhir, ternyata air rob justru menyelinap dari sisi barat dan timur permukiman, area yang luput dari peta proyek. Pemerintah desa Ambulu bergerak dan memikirkan ulang, hingga menyampaikan laporan resmi ke Kementerian PUPR melalui Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimancis,“ bebernya.
Sumber masalah lainnya banyak tambak yang terbengkalai karena tanggulnya jebol diterjang banjir. Efek domino tidak adanya tanggul tambak dan sungai menyebabkan air masuk pemukiman tanpa hambatan. Dan salah satu anak sungai yang tanggulnya hilang sama sekali, sebut saja sungai Marjo yang membentang dari barat ke timur, setiap ada rob airnya mengalir deras ke pemukiman.
“Pada pertengahan 2024 BBWS Cimancis menindaklanjuti laporan tersebut dan membangun tanggul beton sepanjang -/+ 70 meter dari total kebutuhan 1,2 kilometer. Secara simbolik negara memang hadir, tetapi jelas jauh dari cukup. BBWS menyebut pembangunan akan dilanjutkan pada 2025, tapi rencana itu runtuh akibat efisiensi anggaran pusat. Program ditunda dan Ambulu kembali harus berjibaku sendiri,“ terang Sunaji.
Data informasi yang diperoleh Pelita News, tak tinggal diam, Pemerintah Desa Ambulu pasalnya memutuskan menggunakan anggaran sendiri untuk meneruskan pembangunan tanggul. Setelah tanggul tanah 1,2 kilometer selesai dikerjakan, sumber masalah sedikit tertangani. Saat rob datang, alirannya tertahan masuk ke pemukiman. Hasilnya langsung terasa genangan berkurang. Ini baru menyelesaikan masalah pemukiman di sebelah timur Ambulu, belum menyentuh pemukiman sebelah barat.
Namun kembali, kebahagiaan masyarakat Ambulu hanya berlangsung beberapa bulan. Kembali wilayah Ambulu terkena banjir rob. Tanggul tanah yang baru dibuat tidak kuat menahan luapan air laut. Siklus air pasang kali ini terbesar sepanjang sejarah. -/+ 70% pemukiman terendam air laut sampai kantor balai desa pun terdampak banjir. Banjir rob yang sudah berlangsung lebih dari sebulan telah melumpuhkan ekonomi masyarakat dan pranata sosial desa Ambulu.
Prediksi sederhana, jika kenaikan air laut terus bertambah 8–10 cm per tahun, maka dalam 10 tahun ke depan, Ambulu akan rata dengan air. Anggaran Dana Desa tidak akan cukup menahan fenomena banjir rob. Butuh intervensi lintas sektor, terutama BBWS. Tapi lembaga ini menangani ratusan sungai, ratusan desa. Dan Ambulu bukan satu-satunya desa yang mengalami krisis akibat perubahan iklim. @Ries