Indramayu, PN
Pelaksana Budaya dan Museum pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Kabupaten Indramayu, Suparto Agustinus mengajak masyarakat untuk menghidupkan kembali tradisi baritan yang diwariskan para wali untuk menolak bala. Pasalnya ditengah pandemi Covid-19 ini memohon perlindungan kepada Allah SWT sebuah keharusan baik melalui ritual baritan pada sore Jumat kliwon atau dalam bentuk doa-doa lainnya.
Tradisi baritan kata dia, umumnya dilakukan masyarakat perdesaan dan dilaksanakan di pinggir jalan atau perempatan jalan. Waktunya ada sebagian masyarakat yang melaksanakan pada sore Jumat kliwon dan sebagain lainnya pada sore Jumat legi.
“Tujuan dari baritan adalah memohon perlindungan kepada Allah SWT agar terhindar dari bahaya dan terlindungi dari semua wabah penyakit termasuk pandemi Covid-19 di Kota Mangga,” kata Tinus sapaan akrabnya, Senin (28/06).
Dikatakan, berdasarkan UU No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, didalamnya terdapat poin ritus sebuah peristiwa baik yang dilaksanakan oleh kelompok, masyarakat atau keluarga dengan tujuan untuk mendapatkan berkah atau perlindungan.
“Dari segi sudut pandang budaya ada sebuah ritus yang dilaksnakan oleh masyarakat yaitu baritan. Baritan ini biasanya dilaksanakan pada sore jumat kliwon bahkan sampai malam dan disebagian daerah lain dilakukan pada Jumat legi,” ujarnya.
Hanya saja kata dia, karena masih di tengah pandemi maka saat menggelar ritual baritan agar tetap menerapkan protocol kesehatan 4M yakni memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak dan mengurangi aktifitas.
Tinus menyebutkan meski tradisi baritan belum dikenal secara luas karena tergerus zaman namun tradisi tersebut masih dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Indramayu dan prosentasinya mungkin mencapai 70 persenan. Oleh karenanya kata Tinus sembari berdoa memohon perlindungan kepada Allah SWT agar terhindar dari segala mara bahaya pihaknya mengajak untuk menghidupkan kembali tradisi baritan.
Menurutnya, pada zaman dahulu baritan sering dilaksanakan oleh masyarakat di pingir jalan atau perempatan jalan pada saat terjadi buaya pakewu (wabah penyakit) seperti pagi sakit sore meninggal, sore sakit pagi meninggal. Nah untuk menolak bala tersebut masyarakat secara beramai-ramai menggelar baritan. Selain baritan mungkin ada versi lain yakni menggunakan kesenian ritual berokan.
“Berokan dipercaya oleh sebagian masyarakat Indramayu untuk menolak bala,” sebutnya.
Ritual baritan sambungnya, ada yang sebagian masyarakat menyebut dengan babaritan seperti daerah Gantar, Bantarwaru, Sanca dan daerah lainnya yang umumnya berbatasan dengan masyarakat yang berbahasa sunda. Karena kata babaritan adalah bebarengan jadi kemungkinan ada unsur pengaruh bahsa sunda.
“Baritan atau babaritan isinya sama yaitu memohon perlindungan kepada Allah SWT agar terhindar wabah penyakit,” kata dia sembari mengatakan baritan sampai sekarang masih dilestarikan.
Tinus menyebutkan, baritan sudah dilaksanakan sejak zaman kerajaan Hindu, kemudian era kerajaan Islam. Meski sudah bergeser ke era kerajaan islam namun baritan tidak hilang dan tetap dilestarikan hanya doa dan ritusnya diganti menggunakan ayat-ayat Alquran.
“Kami berharap kepada seluruh komponen masyarakat, ulama dan umaro untuk kembali menghidupkan baritan di tempat masing-masing. Intinya, sambil melestarikan budaya warisan para wali kita juga memohon perlindungan kepada Allah SWT. Dan dengan baritan mudah-mudahan Covid-19 segera berlalu,” harap Tinus. (saprorudin)