Kabupaten Cirebon,PN
Belakangan ini soal kelangkaan minyak jadi isu yang banyak diperbincangkan masyarakat. Khususnya sejak adanya pengumuman keputusan harga eceran tertinggi (HET) dari Kemendagri dengan patokan harga 14.000/liter untuk minyak goreng dengan kemasan premium dan 13.500/liter untuk minyak goreng dengan kemasan sederhana. Masalahnya, seiring pengumuman tersebut, masyarakat masih banyak yang merasa tak mendapati minyak dengan harga yang dimaksud.
“Turun apanya? Di pasar harga masih sama 19 ribu perliter. Di Alfamart sama Indomart malah gak ada,” ujar salah seorang anggota masyarakat Sumber kepada tim Harian Pelita menyangsikan terealisasinya kebijakan HET minyak dari Kemendagri.
Untuk merespon situasi yang demikian, Kabid Dagang Disperdagin Kab. Cirebon Iwan Suroso mengatakan bahwa ini adalah persoalan yang tidak sederhana, kompleks. Salah satu alasannya sebab muncul Panic Buying. Masyarakat panik dan kemudian rebutan.
“Kenapa terjadi sampai kosong? Ini salah satunya terjadi Panic Buying. Mungkin sebab masyarakat menganggap ini langka, ya. Jadi rebutan. Padahal, dari pusat, Kemendagri mengatakan untuk ketersediaan ini aman sampai enam bulan ke depan,” terang Iwan Suroso selaku Kepala Bidang Perdagangan dan Pengendalian Barang Pokok dan Penting ketika diwawancarai Harian Pelita, Senin (31/01).
Ia juga mengungkapkan, bahwa masyarakat semestinya membeli maksimal satu sampai dua liter saja dalam sekali periode transaksi. Akan tetapi, yang terjadi mereka membawa keluarganya ketika belanja dan membeli lebih dari seharusnya.
“Iya. Ada yang sampai lima liter hingga enam liter lebih. Bawa keluarganya gitu untuk ikut antri,” ungkapnya lebih detail.
Persoalan selanjutnya disebabkan oleh masyarakat belu mengerti bahwa terkait kebijakan ini turunnya kepada Ritel Modern. Khususnya kepada ritel yang masuk Aprindo, bukan kepada para pedagang Pasar Tradisional.
“Ini memang sejak awal turun kepada Ritel Modern, bukan pada Pasar Tradisional. Itu pun, yang tergabung dengan Aprindo. Jadi masyarakat harus mengerti. Untuk pasar sendiri perlu menyesuaikan secara mandiri,” tambahnya.
Selain Pasar Tradisonal harus menyesuaikan harga, juga ada sejumlah persoalan khusus tersendiri yang dialami oleh para pedagang Pasar Tradisional terkait penentuan harga.
“Untuk harga di Pasar Tradisional saya kira selalu akan sulit untuk penyesuaian harga. Karena manusiawi, ya. Orang membeli dengan harga tertentu dan menjual dengan harga lebih untuk mendapatkan untung. Pelaku dagang di Pasar Tradisional harus bisa bernegosiasi dengan pihak distributor untuk mendapatkan harga terbaik Jika belinya di harga 14000, tak mungkin akan dijual dengan harga yang sama, kan? Berbeda dengan Ritel Modern yang harganya bisa dikendalikan sebab lebih tersistem lewat asosiasi,” papar Iwan Suroso membedakan persoalan yang terjadi di antara Ritel Modern dan Pasar Tradisional.
Begitu pun soal kewenangan yang bisa dilakukan oleh Indag terkait masih bervariasinya harga minyak yang beredar di pasar, Iwan Suroso menjelaskan bahwa kewenangannya hanya sebatas monitoring, dan tak lebih.
“Di Indag sendiri, seluruh Indonesia ya, tak memiliki kewenangan lebih selain monitoring. Itu pun sekali lagi terbatas pada ritel yang menjadi bagian dari Aprindo. Indag tak bisa memberikan sangsi atau tindakan jika tetap ada harga yang bervariasi. Itu bukan lagi wilayah kami, tetapi aparat penegak hukum,” jelasnya.
Dikatakan pula Disperdagin Kab. Cirebon selalu melakukan monitoring ke lapangan terhadap setiap isu tak terkecuali isu minyak ini. Sebab, monitoring adalah sesuatu yang inheren melekat dengan pekerjaan Disperdagin sehari-hari. Sedangkan di luar itu, masyarakat bisa langsung menghubungi Kemendagri sebab sudah ada Hotlinenya sebab ini sebenarnya masalah pusat. (SA)