Oleh Imtihan Noor Abdillah
Tanggal 18 Juni 2025 menjadi momen yang cukup berkesan bagi saya saat mengantar ayah kontrol pascaoperasi di RSUD Mursid Ibnu Syafiuddin, Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu. Pengalaman ini membuka mata saya terhadap realitas pelayanan kesehatan di salah satu rumah sakit tipe D milik pemerintah daerah.
Secara fisik, RSUD ini memang layak disebut rumah sakit. Bangunannya permanen, berdiri kokoh di tepi jalur utama, dan memiliki fasilitas dasar seperti instalasi rawat inap, poliklinik, serta IGD. Namun dari sisi pelayanan, fasilitas penunjang, hingga atmosfer manajemen yang dirasakan pasien dan keluarga, rumah sakit ini masih terasa “nanggung”. Kesan yang muncul—maaf saja—tak jauh beda dari Puskesmas besar yang diberi label rumah sakit.
Lebih dari itu, area parkir kendaraan terlihat semrawut dan tidak terkelola dengan baik. Pengunjung harus berjibaku mencari tempat parkir di sela-sela area yang minim pencahayaan dan tanpa pengaturan petugas. Tampak pula gedung rumah sakit ditumbuhi lumut di beberapa sisi tembok luar, dengan rerumputan liar menjalar di sekitar area pejalan kaki—memberikan kesan tak terurus. Kondisi kamar mandi pun cukup memprihatinkan, jauh dari standar rumah sakit modern. Tidak bersih, berbau menyengat, dan minim perawatan.
Ini menjadi catatan serius jika pemerintah daerah memang ingin mempertahankan rumah sakit ini sebagai bagian dari wajah pelayanan publik yang bermartabat.
Dari sini, muncul pertanyaan penting: apakah layak rumah sakit ini dipertahankan sepenuhnya sebagai institusi milik pemerintah, atau sudah waktunya pemerintah daerah berani mengambil terobosan kebijakan?
Daripada terus menguras APBD untuk pembenahan sarana, penambahan tenaga medis, dan peningkatan layanan yang memakan waktu dan biaya besar, mungkin lebih realistis jika RSUD Mursid Ibnu Syafiuddin dikerjasamakan dengan pihak swasta. Pemerintah cukup menjadi regulator dan pengawas, sementara pengelolaan operasional bisa diserahkan kepada mitra profesional yang berpengalaman di bidang manajemen kesehatan.
Model ini bisa menghadirkan dua keuntungan sekaligus: peningkatan kualitas layanan dan penambahan pendapatan asli daerah (PAD) melalui sistem sewa atau bagi hasil. Bukan mustahil, RSUD yang kini ‘tanggung’ ini bisa menjelma menjadi rumah sakit rujukan dengan standar nasional, baik dari sisi pelayanan medis maupun citra kelembagaan.
Langkah perbaikan ini sejatinya sejalan dengan visi Bupati Lucky Hakim yang mencita-citakan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui ekonomi kerakyatan yang berkeadilan, terbuka, berkelanjutan, mandiri, dan berdaya saing. Jika pelayanan dasar seperti kesehatan saja masih tertinggal dan terkesan apa adanya, bagaimana mungkin masyarakat bisa merasakan keadilan dan keberdayaan yang dicita-citakan bersama?
Sudah saatnya Indramayu berbenah. Bukan sekadar membangun gedung dan mencetak plang nama “RSUD”, melainkan menjadikan rumah sakit sebagai wajah utama keberpihakan pemerintah kepada rakyatnya. Jika tak sanggup mengelola, serahkan kepada pihak yang bisa. Demi kualitas, demi efisiensi, dan demi martabat masyarakat Indramayu.